Potensi alam yang mempesona banyak
menginspirasi para pengrajin batik untuk menciptakan motif batik khas
Madiun. Tak banyak yang tau jika Madiun menyimpan kain tradisional yang
khas yaitu batik Madiun.
Batik Madiun sebenarnya sudah ada sejak jaman
Mataram, karena terdapat sebagian wilayah Madiun yang dulunya menjadi
kekuasaan kerajaan Mataram. Setelah sempat beberapa tahun punah, namun
pada masa penjajahan Belanda, Batik Madiun mulai bangkit kembali walau
hanya beberapa tahun saja. Batik Madiun sempat mengalami kejayaan pada
tahun 1960-an sampai 1980-an.
Batik Madiun sering disebut Batik Kenongo.
Sedikit orang yang mengenal batik khas kabupaten Madiun yang bernama
Batik Kenongo. Kondisi ini memang diakui oleh pihak Pemkab Madiun. Batik
Kenongo dinyatakan nyaris punah, dikarenakan hanya tersisa seorang
perajin yang masih bergerak untuk membatik. Motif andalan dari Batik
Kenongo adalah bunga kenanga yang memiliki makna wangi atau harum.
Motif khas lainnya yaitu batik motif Retno
Kumolo yang motifnya terispirasi dari tokoh wanita zaman Kerajaan
Mataram, Retno Dumilah. Retno Dumilah adalah tokoh seorang putri
sekaligus ksatria yang berjuang mempertahankan wilayah Purbaya atau
Kadipaten Madiun dari serangan Kerajaan Mataram pada zaman pemerintahan
Kerajaan Pajang. Ciri khas batiknya ada pada gambar keris dan warna.
Keris itu adalah senjatanya pahlawan Retno Dumilah yang kemudian
dijadikan lambang kota Madiun. Sedangkan untuk warna cenderung mendekati
biru benhur. Konon katanya, Madiun ini dekat hutan sehingga membawa
kesejukan. Warna biru melambangkan kesejukan. Ciri khas yang sangat
kental dan sarat pesan ini diyakini bisa menjadi daya tarik tersendiri.
Motif lainnya berupa motif beras kutah
(beras tumpah) yang melambangkan Kabupaten Madiun sebagai lumbung pangan
Jawa Timur sebelah barat. Motif serat jati, dan motif ini merupakan
motif cerminan daerah Madiun yang sebagian besar wilayahnya adalah
kawasan hutan produksi jati sebanyak 40 persen berupa hutan jati.
Sentra Batik Madiun bisa anda temukan di
Desa Kenongorejo Kecamatan Pilangkenceng yang terletak 7 km dari kota
Caruban, ke arah Utara. Batik di kawasan ini mengalami puncaknya pada
tahun 1960-an, kala itu produksi batik mencapai 6.000 hingga 7.000
lembar setiap bulannya. Kini produksinya merosot drastis, yakni hanya
tinggal 100 hingga 300 lembar setiap bulannya. Hal ini karena peminat
batik mulai berkurang dan akhirnya kalah dengan tren mode kain dan
pakaian dari luar negeri. Selain itu terdapat di Jalan Tuntang, Gang I,
Kelurahan Pandean, Kecamatan Taman, Kota Madiun. Terdapat pula daerah penghasil Batik Madiun
yang berlokasi di Sewulan (Madiun Selatan), yang merupakan daerah dari
kerajaan Mataram. Budaya membatik di daerah tersebut saat ini sudah
nyaris punah ditelan oleh modernisasi teknologi dimana harga batik
printing dan cap lebih murah dan harga batik tulis lebih mahal.
Seiring
perkembangan jaman saat ini tinggal 5 orang yang berprofesi menjadi
pembatik itupun hanya sebagai sambilan usai melakukan kegiatan rutinitas
rumah tangga dan usia pembatik inipun sudan tua sedang generasi penerus
tak ada yang berminat karena proses pewarnaan (wedel) atau pencelupan
harus dibawa ke Bekonang Sukoharjo Jawa Tengah atau Solo.
Dahulu di
Ponorogo ada namun pengusaha wedel tersebut meninggal dan diwariskan ke
anaknya malah diboyong ke Yogyakarta, usaha wedel tersebut praktis dari
tahun 1989 sampai sekarang proses pewarnaan harus ke Surakarta.
Sebenarnya motif batik tradisional Madiun Selatan sama dengan di Solo
maupun Yogyakarta antara lain semen romo, parang rusak, sidomukti,
parang barong, bledag, dan lain sebagainya. Hanya ada satu motif kembang
jeruk dengan pewarnaan colet lebih tegas dan merupakan ciri khas Batik
Madiun.
Hasil
produksi Batik Madiun tidak hanya dijual di wilayah Madiun saja, namun
juga di sejumlah luar kota di Pulau Jawa. Seperti Jakarta, Bandung,
Batu, Malang, dan sejumlah kota di Jawa Tengah.
Sampai saat ini campur tangan Pemerintah
untuk melestarikan Batik Madiun belum maksimal. Selain permasalahn
modal, hal lain yang membuat Batik Madiun sulit berkembang adalah tidak
adanya regenerasi. Tidak ada warga sekitar yang ingin belajar dan
menggeluti usaha batik.
Pihaknya sering memberikan pelatihan batik bagi
ibu-ibu PKK ataupun siswa sekolah, namun setelah itu tidak ada tindak
lanjutnya.
Upaya yang dilakukan Disperindag Kabupaten Madiun adalah
mengadakan lomba desain batik yang nantinya diharapkan dapat menumbuhkan
kecintaan batik pada generasi muda.
Dari semua upaya ini, sangat
diharapkan Batik Madiun mengalami kebangkitan, dan kembali ke era
1980-an, di mana masih ada sekitar 20 industri rumah tangga kerajinan
batik di Desa Kenongorejo. Bahkan produk batiknya yang bermotif porang,
dipakai sebagai seragam hari Jumat di Pusdiklat Perum Perhutani Madiun
pada tahun 2011- sekarang. Penetapan motif Batik Madiun juga perlu
disegerakan, tujuannya untuk menumbuhkan kembali sentra batik di
Kabupaten Madiun yang selama ini terpuruk dan melestarikan budaya bangsa
tentang batik. Selain itu untuk mengindari klaim dari pihak lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar